Rukun-rukun Sholat yaitu ada 17 :
Pertama niat
yang kedua takbirotul ihrom
Yang ketiga berdiri atas orang yang mampu
Yang keempat membaca Fatihah
Yang kelima ruku
Yang keenam tuma’ninah di dalam ruku
Yang ketujuh i’tida
Yang kedelapan tuma’ninah di dalam i’tidal
Yang kesembilan sujud 2 kali
Yang kesepuluh tuma’ninah di dalam sujud
Yang kesebelas duduk antara 2 sujud
Yang kedua belas tuma’ninah di dalam duduk antara 2 sujud
Yang ketiga belas tasyahhud akhir
Yang keempat belas duduk di dalam tasyahhud akhir
Yang kelima belas sholawat atas Nabi SAW
Yang keenam belas salam
Yang ketujuh belas tertib
Rukun shalat ada tujuh belas.
Pertama, niat.
Tempat niat adalah di hati. Dan niat dilaksanakan bersamaan dengan
pekerjaan pertama dalam shalat, yaitu takbirat al-ihram. Sedangkan
melafadzkan niat dengan lisan adalah disunahkan demi membantu kehadiran
niat di dalam hati. Tapi melafadzkan dengan lisan tidak wajib dilakukan.
Kedua, takbirat al-ihram.
Dinamakan takbirat al-ihram, sebab dengan memulai takbir maka secara
otomatis segenap sesuatu yang halal sebelum shalat, seperti makan dan
berkata-kata, telah diharamkan setelah memasuki takbir shalat tersebut.
Al-ihram adalah pengharaman sesuatu yang halal disebabkan sedang
mengerjakan shalat.
Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri.
Dalil
yang dijadikan sebagai dasar pijakan hukum bahwa berdiri adalah salah
satu syarat shalat adalah sebuah perkataan Nabi Muhammad SAW kepada
‘Imran bin Husyen pada saat ‘Imran terserang penyakit ambeyen;
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah. Jika tidak
mampu duduk, maka tidur lah”. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari.
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai ada tambahan
redaksi bahwa, “jika tidak mampu, maka terlentanglah. Sebab Allah tidak
membebani makhluknya, justru Allah memberikan leleluasaan dan kelapangan
bagi hambanya untuk beribadah sesuai dengan kadar kemampuannya”. Jelas
bahwa dalam Islam, sungguh sangat lentur dan kompromistis dalam
menetapkan rumusan hukum dan kondisional.
Keempat, membaca al-Fatihah.
Cara membaca al-fatihah boleh dengan hafalan, melihat langsung Mushaf,
atau dengan cara mengikuti bacaan sang guru yang melatih atau
mengajarinya. Membaca al-fatihah diwajibkan bagi setiap orang yang
mekalsanakan shalat, baik shalat berjamaah atau sendirian (munfaridl),
baik sebagai imam atau makmum.
Dalil al-Quran yang mewajibkan membaca al-fatihah yaitu;
وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ
“Dan
sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang dan al-Quran yang agung”. (QS. Al-Hujarat: 87).
Sebagian
besar para ulama menafsirkan mab’u al-matsani yang terdapat dalam ayat
tersebut adalah surah al-fatihah. Sebagaimana menurut Imam Fakhruddin
ar-Razi dalam kitab tafsirnya yaitu Mafatih al-Ghayb atau Tafsir
al-kabir menjelaskan bahwa;
إذا
عرفت هذا فنقول : سبعاً من المثاني مفهومه سبعة أشياء من جنس الأشياء التي
تثنى ولا شك أن هذا القدر مجمل ولا سبيل إلى تعيينه إلا بدليل منفصل
وللناس فيه أقوال : الأول : وهو قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو
قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك
وسعيد بن جبير وقتادة ، وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ الفاتحة وقال
: هي السبع المثاني رواه أبو هريرة ، والسبب في وقوع هذا الاسم على
الفاتحة أنها سبع آيات ، وأما السبب في تسميتها بالمثاني فوجوه : الأول :
أنها تثنى في كل صلاة بمعنى أنها تقرأ في كل ركعة . والثاني : قال الزجاج :
سميت مثاني لأنها يثنى بعدها ما يقرأ معها . الثالث : سميت آيات الفاتحة
مثاني ، لأنها قسمت قسمين اثنين ، والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال : « يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين »
والحديث مشهور . الرابع : سميت مثاني لأنها قسمان ثناء ودعاء ، وأيضاً
النصف الأول منها حق الربوبية وهو الثناء ، والنصف الثاني حق العبودية وهو
الدعاء . الخامس : سميت الفاتحة بالمثاني ، لأنها نزلت مرتين مرة بمكة في
أوائل ما نزل من القرآن ومرة بالمدينة . السادس : سميت بالمثاني ، لأن
كلماتها مثناة مثل : { الرحمن الرحيم } [ الفاتحة : 3 ] { إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } [ الفاتحة : 5-7 ] وفي قراءة عمر : ( غير المغضوب
عليهم وغير الضالين ) . السابع : قال الزجاج : سميت الفاتحة بالمثاني
لاشتمالها على الثناء على الله تعالى وهو حمد الله وتوحيده وملكه
Jika
kita simak ungkapan tersebut bahwa terdapat banyak sekali penafsir yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab’u al-matsani adalah fatihah
al-kitab atau surah al-fatihah, seperti pendapat sahabat Umar, Ali bin
Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Aby Tsa’labah, Mujahid,
al-Dlahhak, Sa’id bin Jabir dan Qatadah telah meriwayatkan hadits yang
menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi membaca al-fatihah dan beliau
berkata; sesungguhnya surah al-fatihah ini adalah as-sab’u al-matsany,
diriwayatkan oleh Abu hurairah. Sebab surah al-fatihah dinamakan itu
karena al-fatihah terdiri dari tujuh ayat, yaitu as-sab’u. Sedangkan
dinamakan dengan al-matsani terdapat beberapa aspek, pertama, karena
surah al-fatihah selalu dibaca di setiap rakaat dalam shalat.
Kedua—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—dinamakan Matsani karena
dipuji setelah dibacanya. Ketiga, sebab al-fatihah di dalamnya terbagi
menjadi dua bagian, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa
Nabi berkata bahwa “Allah mengatakan bahwa aku bagi shalat, yaitu
sebagian adalah bagianKu dan sebagian yang lain untuk hambaKu”. Keempat,
dinamakan dengan al-matsani sebab di dalamnya terdapat dua bagian,
yaitu tsana’ (pujian dan sanjungan) dan doa, sebagian hak Tuhan
(rububiyah) yaitu tsana’ (pujian) dan sebagian lagi hak hamba
(‘ubudiyah) yaitu doa. Kelima, al-fatihah dinamakan dengan matsani sebab
sebagian ayatnya diturunkan di Makkah dan sebagian lagi di Madinah.
Keenam, dinamakan dengan al-matsani sebab dalam ayat-ayatnya terdapat
dua kalimat yang dobel seperti ar-rahman dan ar-rahim, atau iyyaka
na’butdzu dan iyyaka nasta’in, dll. Ketujuh, al-fatihah dinamakan dengan
al-matsanai—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—karena di dalamnya
terdapat pujian, sanjungan dan peng-EsakanNya.
Terdapat
banyak hadits Nabi yang menegaskan akan kewajiban membaca al-fatihah
dalam shalat. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim, yang edua menyatakan bahwa Nabi berkata “Tidak ada shalat
(baca tidak sah) bagi seseorang yang tidak membaca al-fatihah”. Dan
hadits Nabi lain yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi mengatakan
“Barang siapa yang melaksanakan shalat tidak membaca Ummul-Quran (induk
al-quran, yaitu al-fatihah) ,ala shalatnya tidak bisa dianggap
sempurna”.
Syarat shalat yang kelima, ruku’.
Tata cara ruku’ yaitu pertama, meletakkan kedua tepalak tangannya pada
kedua lutut. Kedua, kedua telapak tangan menekan kedua lutut. Ketiga,
merenggangkan jari-jemarinya. Keempat, merenggangkan kedua sikunya dari
lambungnya. Kelima, membentangkan dan meluruskan punggung sampai selurus
papan tulis atau dapat diibaratkan jika punggung itu dituangkan air
dari atasnya maka tidak akan tumpah. Keenam, membungkukkan punggung
tidak terlalu kebawah dan tidak pula mendongkak terlalu ke atas. Tapi di
tengah-tengah di antara keduanya.
Syarat shalat yang keenam, tuma’ninah (diam dan bersahaja) dalam ruku’.
Pada saat tuma’ninan, seseorang disunahkan membaca subhana rabbiya
al-‘adhim wa bihamdihi (maha suci Tuhanku yang maha agung) minimal satu
kali bacaan, dan lebih baiknya dibaca sebanyak tiga kali bacaan.
Syarat yang ketujuh, i’tidal.
Yang dimaksud i’tidal adalah kembali berdiri dari ruku’. Disunahkan
pada waktu i’tidah tepat pada saat mengangkat pundak untuk berdiri dari
ruku’ membaca doa “sami’alLahu li-man hamidah” (Allah maha mendengar
hamba yang telah memujiNya)
Syarat kedelapan, tuma’ninah dalam i’tidal,
yaitu diam dan bersahaja berdiri sambil disunahkan membaca doa “Rabbana
laka al-hamdu mil’us-samawati wa mil’ul-ardhi wa mil’u ma sy’tha min
syai’in ba’dhu” (Tuham kami, hanya bagiMu segala puji yang memenuhi
langit, bumi, dan segala sesuatu yang telah Engkau inginkan).
Syarat kesembilan, sujud sebanyak dua kali.
Disunahkan pada waktu sujud dengan membaca doa “Subhana rabbiyal-a’la
wa bi-hamdihi” (Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan dengan
menujimu).
Syarat kesepuluh, tuma’ninah (diam dan bersahajah) dalam sujud.
Syarat kesebelas, duduk di antara dua sujud.
Pada saat duduk di antara dua sujud disunahkan membaca doa “Rabby
ighfirly warhamny wajburny warfa’ny warzuqny wahdhiny wa’afiny wa’fu
‘anny”
Syarat kedua belas, tuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud.
Syarat ketiga belas, tasyahhud al-akhir.
Syarat keempat belas, duduk dalam tasyahhud.
Syarat kelima belas, membaca shalawat pada Nabi dalam tasyahud.
Syarat keenam belas, membaca salam.
Ada dua salah, yaitu salam pertama dengan memalingkan wajah ke samping
kanan dan salam kedua dengan memalingkan wajah ke samping kiri. Salam
pertama hukumnya wajib, karena termasuk syarat shalat. Sedangkan salam
kedua hukumnya sunnah. Salam paling minimal diucapkan;
“Assalamu’alaikum”, dan maksimalnya diucapkan; “Assalamu’alaikum wa
rahmatullahi wa barakatuh”.
Syarat ketujuh belas, tertib.
Artinya menjalankan shalat harus secara tartib (berurutan) mengerjakan
satu syarat ke syarat yang lain. Kewajiban mengerjakan shalat secara
tartib sebab dalam hadits disebutkan “Shalluu kama ra’aytumuny ushally”
(shalatlah kalian seperti kalian melihat langsung saya shalat). Jadi
segenap pekerjaan shalat harus sesuai dengan shalat Nabi. Sedangkan
shalat yang dikerjakan Nabi dilaksanakan secara tartib. Maka setiap
orang yang mengerjakan shalat pun harus tartib sebagaimana Nabi
mengerjakan shalat.